Monday, April 8, 2013

Mad Story

Benang Kusut Terurai Kembali by: Mayniasari Lusi Nuringtyas XII IPA 4-13 tak ada perubahan. Semua terlihat baik baik saja. Tiang listrik bertrafo biru masih berdiri tegak, dinding setinggi 2 lantai tetap memancarkan aura kesederhanaan. Pulang. Ini baru satu bulan. Satu bulan yang teramat panjang. Ya, OSPEK, yang membuatku tak bertemu Ibu selama sebulan. Status mahasiswi telah aku sandang. “salam kenal,” “hai...bla bla blaa” hari ini inboxku terlalu fals, sangaat datar, semua intinya sama. Kutarik kesimpulan, inilah resiko anak baru, semangat cari teman baru, gebetan baru. Semua baru. Hanya jam berwarna hitam di pergelangan tanganku yang tak ikut baru. Jam yang langka ditemukan di pasaran, mungkin sudah masuk museum purbakala. “kakak, ada yang nyariin kakak di depan”, teriak Sekar, adik sepupuku yang kini tinggal di rumahku. Belum sempat aku beranjak, 1 pesan masuk, “dek,aku tunggu di dpn, kangen. ” “kka, kok kka gitu sih, dicari orang ganteng lo kak, mah diem aja” “oh, ganteng ya? Kak Arif kan? sayang, bawa nih receh lima ratusan, kasihin ke dia” Aku beruntung Kak Arif tak tahu rimbaku akan kemana sekarang. Aku sebenarnya merasa berdosa menggantungkannya, namun apa daya hukum alam telah mengaturnya demikian. Irama dawai gitar menggetarkan hatiku memulai merajut benang-benang emas. Langit biru menjanjikan kecerahan untuk mencapai cita-cita Indonesia yang adil dan makmur. Tak akan kuretakkan semangat yang membara ini. “pagi, Nawa, bagaimana OSPEK kamu, cerita dong sama aku” Fani, teman kostku langsung nyamperin. “sumpah seru banget Fan, bener-bener OSPEK yang cukup buat resep diet. Eh bagaimana kamu, di kedokteran?” “hmm, tidak kalah gilanya Na. Kamu tau kan panitia ospek kampus kita ini manusia2 berkacamata tebal, kemarin mah ada mas mas nya yang bbm an ke aku dan bilang gini makasih ya dek semoga ospek nya berkesan buat kalian. Ih so cute” Bagai air yang mengalir di musim hujan, selalu ada saja topik pembicaraan kita. Dari ujung rambut sampai ujung kaki pun tak ada yang terlewatkan. Aku dan Fani menggunakan mesin waktu yang similar, hanya fakultas yang membedakan. Kampus. Mata kuliah. Makanan sehari-hari kita di 2 semester awal ini. “Fan, lagi ada waktu gak?” “suruh bantuin ngetik lagi, nih say? sini2” “thankyou banget Fan, kamu memang pahlawan” “ah bisa aja, tapi, besok gak begini sibuknya kan? Anterin aku ya ke somewhere” “kemana? Mau ngapain hayo? Jangan–jangan gebetan baru lagi ya?” “ah, kepo, penting pokoknya” “oke, bro” Hipotesisku benar, esoknya di perpustakaan kampus, Fani ketemuan dengan seorang laki2, entah siapa aku tak terlalu memperhatikan. Saraf mataku perlahan mulai mengendur, akibat terforsir. Pukul 17.30. lagu The Saltwater Room favoritku mendadak berdering dari hapeku. aku terbangun. Perpustakaan tinggal menyisakan buku2. Bangku Fani sudah kosong. Kucoba hubungi Fani. Tapi,...tak ada kontak satupun, tampilan juga telah berubah. Ada 1 pesan dari orang tak dikenal. “Ini pasti inbox pertama di hape kamu, kalau kau tak mau celaka :D.” Aku coba telpon balik nomor itu, hanya ada ucapan “hay” lalu terputus. Suara seorang laki-laki yang kurasa asing. Cahaya mulai meredup menandakan malam datang. Suara jangkrik berfrekuensi tinggi mengiringi langkahku menuju kost. Sepi. Fani belum juga pulang. Esoknya di kampus “nawa, maaf ya kemarin aku ninggalin kamu di perpus, karena,....” “karena apa Fan? Lagi ada masalah? Cerita aja,,” “gapapa Na, jangan disini deh ceritanya, norak, nanti saja di kost” “oke, tapi jangan sedih terus dong, senyum” Jarum jam menunjukkan pukul 22.00, Fani belum juga terlihat batang hidungnya hingga pagi datang. Sehari dua hari tak ada kabar dari Fani. Tiba-tiba ada telepon masuk. “halo?” sapanya “iya, halo. Ini siapa?” “ini aku Fani, sayang,” “beneran nih Fani, kangeen Fan, kamu bakal balik ke kost kan hari ini,?” “sekali lagi maafin aku, aku mau ngomong sesuatu, tapi....kamu jangan marah ya” “iya, iya, apa Fani sayang?” “aku berhenti kuliah dulu Na...mau kerja” “serius Fan? Kamu lagi sadar kan?” “iya, nanti kalau sudah kelar semuanya aku ceritain dan aku akan lanjut lagi kuliah. Pokoknya kamu tetap jaga diri aja, raih semua impianmu demi masa depan, see you” Mendadak telepon ditutup. Selama ini Fani hanya mengungkapkan hal-hal yang baik padaku, dia tak pernah mengeluhkan apapun. Bagaimanapun juga, Fani telah memberikan banyak pelajaran hidup. Mesin waktuku dengan Fani kini sudah jauh berbeda. Rasa sepi menyelimuti diriku. Hanya meladeni perintah dari sms orang tak dikenal yang mengisi sela-sela aktivitas kampus. Kala malam itu, sang rembulan menemani langkahku pulang kuliah, suara jangkrik tertutup sebuah nada tinggi dengan lirik nama ‘Fani’. Sosok laki2 berjaket coklat yang berdiri di ambang pintu kost itu sumber suaranya. Pemandangan semacam ini telah tercopy untuk beberapa hari. Aku semakin penasaran. Kulancarkan sebuah investigasi, kuamati gerak gerik tubuhnya. Hasil pengamatan awal mengindikasikan bahwa orang itu pernah aku lihat sebelumnya, dan kalau tidak salah adalah orang yang bertemu Fani di perpustakaan. Meski dengan bulu kuduk yang berdiri tegak, aku mencoba mendekat, “Fani udah nggak disini lagi” kataku “apa?!?!” dia membalikkan badan. Ups, ini sengatan listrik tegangan tinggi, Aku berbalik arah, menuju kampus lagi. Aku terpaksa tidur di kampus menemani orang-orang yang lembur. Pagi hari, kusambut dengan senyuman. Segelas susu coklat di kantin kampus cukup memberikan energi untuk pagi ini, pagi yang mempesona. Pekerjaan makalahku sudah kelar. Indahnya pagiku tiba-tiba hilang dengan masuknya sebuah pesan singkat: “dek, kok nggak ngasih tau kalau kamu di Jogja skrg? Ktmuan di cafe depan kampus kamu, jam8” Astaga, Kak Arif muncul lagi di kehidupanku di saat yang tidak tepat. Tiba-tiba Hpku berdering, “halo” “iya, kenapa?” kataku “ketemu aku di cafe, sekarang, penting, bawa makalahnya. Tapi cuci muka dulu, hahaha kasihan nih anak tidur di kampus” “tapi, aku...” yahh ditutup, sialan. Otakku mulai bekerja, jangan-jangan mereka sekongkol. Tak kutemui keduanya. Hiruk pikuk hatiku menggerakkanku mencari kost yang lebih aman. Bumi berjalan begitu cepat mengelilingi matahari. Kalau boleh jujur aku iri melihat teman-teman bersama orang2 yang dicintai. Perasaanku seperti terdampar, tak ada yang mengerti. 2 semesterku berlalu cukup lancar. “kenalkan saya Eza, asisten baru Prof. Ali Baba, mahasiswa semester akhir. kalian panggil saja saya Kak Eza” Oh men! Suara Kak Eza similar dengan orang tak dikenal yang belum kutemukan sosoknya. “Nawa, selamat ya makalah kamu jadi finalis” “eh apa kak?” tanyaku gugup “3 bulan depan kamu harus presentasi makalah kamu di Brunei” “makalah apa ya, kak?” “ya yang terakhir kemarin itu, kalau butuh bantuan hubungi saya” Pijakan kakiku terasa naik beberapa senti sesaat. Serasa kutemukan dunia baru ditengah kelamnya hatiku. Langit biru kembali memberikan janji. Mesin waktuku telah beralih similar dengan Kak Eza. Tutur katanya menebarkan sejuta impian bagiku. Dia membimbingku dengan penuh cinta, cinta pada ilmu. Kaca mata minus 2 nya, langkah pastinya, membuat setiap orang jatuh hati padanya. Kak Eza kini turut mengiringi langkahku pulang bersama sang rembulan. Tiba-tiba sebuah mobil hitam berkecepatan tinggi hampir membuatku celaka. Aku terjatuh, jatuh yang tak terasa sakit dalam pelukan seorang Eza. Seseorang keluar dari mobil. “nawa!! Dasar cewek brengsek nggak tau diri!! Tunggu saja dan lo Eza awas ya” Kurasakan degup jantung Kak Eza berintensitas tinggi. “kamu nggak papa kan, Na?” “nggak kok, cm shock aja. Loh kok dia tau kka?” “Arif teman SMA ku, siapanya kamu sih dia kok sampai segitunya?” “dia..dia selalu menggangguku hidupku” “ohh ya ya aku tau, yang jadi sebab pas kamu tidur di kampus, trus kamu pindah kost itu ya?” “iya, bener banget, kok kka tau?” “tau lah, apa sih yang aku nggak tau dari kamu” Duniaku berbalik 180 derajat. Cinta, kapan saja bisa datang dan tak perlu terucap dalam kata-kata. Energi cinta menyatukan dua hati. Cinta produk baru ini membawaku pada rangkaian nada cintaku semasa SMA. Cinta dari seorang sahabat. Hadirnya dalam hidupku memberikan sejuta kenangan indah. Arvan, sahabat yang superhero buatku. Motivasi, nasehat selalu ada untukku. Dia yang membuatku bangkit saat aku mulai terpuruk. Jarak Yogyakarta-Kairo terlampau jauh untuk aku dan Arvan. Ini sangat berat kujalani...jauh dari sahabat yang mencintaiku dengan hati tulus. Kini cinta Arvan terbang bersama awan putih tanpa arah. Dua tahun berlalu Kak Eza datang padaku membawa cintanya yang telah mencapai titik kulminasi. Hati kami bersatu, berlabuh dalam sebuah cinta. Ku arungi samudra hidup yang terkadang bergelombang, karena kurasa cinta ini hanya pelarian hatiku yang sepi. Namun, seiring berjalannya waktu aku telah terbiasa dengan cinta itu. Bunga-bunga mulai bermekaran, mentari tiada henti menyinari kebahagiaan kita. 2 pangeran makhota kecilku melengkapi kita bersama sang mentari. Bangunan bercat ungu ini menjadi saksi atas senyum hidupku. Suara tahlil berkumandang mengiringi langkah layu pemikul kereta. Hujan di musim kemarau membasahi di setiap sudut mata. Ibu telah pergi untuk selamanya. Satu-satunya keluarga yang tersisa adalah kakakku seorang diplomat di Mesir yang teramat lama tak pulang. Capung raksasa membawa Mas Fian, kakakku ke tanah air di hari ketiga berkabung. “adek, ini sudah tercatat dalam Lauh Mahfudz, jadi jangan sedih mungkin inilah yang terbaik. Sekarang tinggal kita, jangan kamu khianati hidupmu” kakakku berkata sedemikian bijaksananya. “iya, Mas, Nawa tau. Semoga kita diberi ketabahan” “eh, ada Eza juga, bagaimana kabarnya sekarang?” “alhamdulillah baik, Mas. Mas sendiri kelihatannya tak kurang apapun” “ya, beginilah saya. Eh itu dia ada yang datang dari Mesir, tadi bareng Mas” Dua orang, laki-laki dan perempuan keluar dari taxi. Senyum teduh laki-laki itu tak asing bagiku. Senyum yang membuatku bangkit, senyum itu hanya milik Arvan seorang. dan, langkah anggun perempuan itu adalah Fani. Arvan?? Fani?? “nawa, kangeen, semoga Ibu kamu diterima di sisiNya” “amin, makasih Fan, hutang ceritamu aku tagih deh sekarang, udah kelar kan” “iya iya nanti aku critain” Arvan, sesaat kutangkap sorot matanya masih memancarkan cahaya cinta. Entahlah, aku belum bisa menyelami isi hati Arvan untuk situasi ini. “Na, kamu baik-baik saja kan?” akhirnya Arvan angkat bicara. Kalimat itu mengingatkanku pada hari-hari bersama Arvan. “baik, Van, kamu pasti baik juga kan? Oh iya, ini Kak Eza, suamiku” Bagai terkena kilatan petir, Mas Fian membawaku dan Kak Eza ke dalam. Mas Fian baru tau kalau suamiku adalah Kak Eza. Ini lebih dari sekadar petir, hidupku dengan Kak Eza harus berakhir cukup sampai disini. Aku telah terjebak dalam ukiran cinta yang rumit. Asupan untuk jiwa kita tak kusangka berasal dari sumber yang sama. Inilah hidup. Aku harus menerima kenyataan ini ditengah dalamnya cintaku. Ternyata tak kusadari jam tangan hitamku sama persis dengan jam tangan Kak Eza sebagai sebuah tanda. “na, seharusnya aku dulu jujur sama kamu” “tapi, semua telah terjadi, Fan,” “iya, aku minta maaf, sebenarnya aku diberi amanah dari Arvan untuk menjagamu selama dia di Mesir. Dia sangat tulus mencintaimu lebih dari sahabat, Na. Dia tak mau kamu terjatuh. Saat Arvan tau kamu menikah, kamu tak akan sanggup membayangkan bagaimana hati Arvan tertusuk jarum yang begitu tajam” “tapi, kenapa kamu membiarkanku melangkah sendiri, Fan?” “keadaan, Na, jangan salahkan keadaan. Kak Arif memaksaku untuk menikah dengannya untuk menebus hutang keluargaku. Hingga akhirnya aku menyusul Arvan, saudaraku ke Mesir. Dia memang kurang berperikemanusiaan, Na” Kucoba meraih cinta yang dulu pernah aku lukai, sekeras apapun aku akan bertahan dan lari mengejarnya. Kutemukan kembali rangkaian mozaik cinta ini untuk Arvan. Cintaku untuk Kak Eza kini adalah cinta kepada seorang kakak. fani masuk dalam kehidupan Kak Eza. Senyum Arvan kini kembali mengisi hidupku untuk selamanya. .............